BUNG TOMO
Sutomo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun.
Ketika membentuk barisan pemberontakan Republik Indonesia, nama Bung Tomo kian melejit di antara pemimpin-pemimpin lokal di Surabaya. Ia mampu menginisiasi gerakan yang berhasil menyatukan kelompok merah dan kaum santri.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik Bung Tomo dalam pidatonya.
Pidato Bung Tomo memiliki daya agitatif sehingga para pemimpin lokal di Surabaya dan sekitarnya tergerak untuk berjuang bersama melawan penjajah. Apa yang menarik dari pidato Bung Tomo, dalam telisik Ben Anderson (1988: 182-183), adalah daya tarik untuk menyatukan para pemimpin daerah, baik dari kalangan sekuler (kelompok merah) maupun para kiai dari pelosok. Karena mendengar seruan Bung Tomo, mereka bersedia melakukan perjalanan jauh dari pelosok menuju pelabuhan.
Masih menurut Anderson, pada sekitar tanggal 21-22 Oktober, Nahdlatul Ulama (NU) dari seluruh Jawa dan Madura menggelar rapat akbar menghasilkan tuntutan sebagai berikut: “1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tabfabbta. 2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan yang bersifat sabilullah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”
Namun beberapa Indonesianis berbeda dalam menafsiri fakta sejarah yang satu ini. Berbeda dengan Anderson, justru menurut Malcolm Cadwell dan Ernest Utrecht (2011), momentum rapat akbar tanggal 21-22 Oktober tidak masuk dalam Sejarah Alternatif Indonesia. Justru, peran dan ketokohan Bung Tomo sangat dominan dalam peristiwa revolusi di Surabaya.
Dalam penelitian lain, MC. Riklefs (2005: 437) memberikan analisis yang berbeda terhadap fakta historis rapat akbar tanggal 21-22 Oktober. Sebenarnya, bukan hanya NU yang menggagas rapat akbar pada 21-22 Oktober tersebut. Ada elemen lain yang turut andil dalam moment akbar tersebut, yaitu Masyumi. Dalam analisis Riklefs, Masyumi dan NU inilah yang berhasil menggerakkan umat Islam di Jawa Timur dan Madura untuk mempertahankan tanah air lewat Perang Sabil (Sabilullah). Analisis Riklefs ini terlepas dari peran pidato Bung Tomo yang telah mengudara lewat stasiun radio pada waktu itu.
Dalam kondisi yang kian memanas, Bung Tomo hadir sebagai sang orator. Justru, dalam kondisi seperti itulah peran Bung Tomo dinilai sangat sentral dalam memberi semangat kepada massa yang telah berkumpul di kota Surabaya.
“Soetomo (1920-81), seorang yang berapi-api dan lebih dikenal sebagai “Bung Tomo,” menggunakan radio setempat untuk menimbulkan suasana semangat revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota”, tulis Riklefs.
Pasukan Sekutu dari Inggris dan India telah tiba di Surabaya pada tanggal 25 Oktober. Tujuan mereka adalah membebaskan tawanan perang warga Indo-Eropa secepat mungkin. Tetapi rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri sudah menaruh kebencian yang dalam sehingga kedatangan Pasukan Sekutu mendapat perlawanan sengit. Tidak terkecuali di kota Surabaya, pasukan Sekutu sebanyak 6.000 serdadu (Inggris dan India) mendapat perlawanan dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebanyak 10-20 ribu personil yang baru saja dibentuk. Menyadari betapa kuat perlawanan TKR bersama rakyat di Surabaya, bahkan panglima pasukan Inggris (Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby) tewas di tangan pasukan Indonesia, maka pada tanggal 30 Oktober ditetapkan gencatan senjata. Tetapi selama masa gencatan senjata, Pasukan Sekutu justru mendatangkan bala bantuan dan berhasil mengungsikan para tawanan warga Indo-Eropa. Tepat pada Shubuh 10 November, pasukan Sekutu melancarkan aksi pembersihan berdarah di seluruh pelosok kota di bawah perlindungan serangan bom dari udara dan laut. Inilah momentum yang mengantarkan Surabaya sebagai “Kota Pahlawan” ketika sekitar 6.000 rakyat Indonesia gugur dalam revolusi 10 November.
Sutomo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun.
Ketika membentuk barisan pemberontakan Republik Indonesia, nama Bung Tomo kian melejit di antara pemimpin-pemimpin lokal di Surabaya. Ia mampu menginisiasi gerakan yang berhasil menyatukan kelompok merah dan kaum santri.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik Bung Tomo dalam pidatonya.
Pidato Bung Tomo memiliki daya agitatif sehingga para pemimpin lokal di Surabaya dan sekitarnya tergerak untuk berjuang bersama melawan penjajah. Apa yang menarik dari pidato Bung Tomo, dalam telisik Ben Anderson (1988: 182-183), adalah daya tarik untuk menyatukan para pemimpin daerah, baik dari kalangan sekuler (kelompok merah) maupun para kiai dari pelosok. Karena mendengar seruan Bung Tomo, mereka bersedia melakukan perjalanan jauh dari pelosok menuju pelabuhan.
Masih menurut Anderson, pada sekitar tanggal 21-22 Oktober, Nahdlatul Ulama (NU) dari seluruh Jawa dan Madura menggelar rapat akbar menghasilkan tuntutan sebagai berikut: “1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tabfabbta. 2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan yang bersifat sabilullah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”
Namun beberapa Indonesianis berbeda dalam menafsiri fakta sejarah yang satu ini. Berbeda dengan Anderson, justru menurut Malcolm Cadwell dan Ernest Utrecht (2011), momentum rapat akbar tanggal 21-22 Oktober tidak masuk dalam Sejarah Alternatif Indonesia. Justru, peran dan ketokohan Bung Tomo sangat dominan dalam peristiwa revolusi di Surabaya.
Dalam penelitian lain, MC. Riklefs (2005: 437) memberikan analisis yang berbeda terhadap fakta historis rapat akbar tanggal 21-22 Oktober. Sebenarnya, bukan hanya NU yang menggagas rapat akbar pada 21-22 Oktober tersebut. Ada elemen lain yang turut andil dalam moment akbar tersebut, yaitu Masyumi. Dalam analisis Riklefs, Masyumi dan NU inilah yang berhasil menggerakkan umat Islam di Jawa Timur dan Madura untuk mempertahankan tanah air lewat Perang Sabil (Sabilullah). Analisis Riklefs ini terlepas dari peran pidato Bung Tomo yang telah mengudara lewat stasiun radio pada waktu itu.
Dalam kondisi yang kian memanas, Bung Tomo hadir sebagai sang orator. Justru, dalam kondisi seperti itulah peran Bung Tomo dinilai sangat sentral dalam memberi semangat kepada massa yang telah berkumpul di kota Surabaya.
“Soetomo (1920-81), seorang yang berapi-api dan lebih dikenal sebagai “Bung Tomo,” menggunakan radio setempat untuk menimbulkan suasana semangat revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru kota”, tulis Riklefs.
Pasukan Sekutu dari Inggris dan India telah tiba di Surabaya pada tanggal 25 Oktober. Tujuan mereka adalah membebaskan tawanan perang warga Indo-Eropa secepat mungkin. Tetapi rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri sudah menaruh kebencian yang dalam sehingga kedatangan Pasukan Sekutu mendapat perlawanan sengit. Tidak terkecuali di kota Surabaya, pasukan Sekutu sebanyak 6.000 serdadu (Inggris dan India) mendapat perlawanan dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebanyak 10-20 ribu personil yang baru saja dibentuk. Menyadari betapa kuat perlawanan TKR bersama rakyat di Surabaya, bahkan panglima pasukan Inggris (Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby) tewas di tangan pasukan Indonesia, maka pada tanggal 30 Oktober ditetapkan gencatan senjata. Tetapi selama masa gencatan senjata, Pasukan Sekutu justru mendatangkan bala bantuan dan berhasil mengungsikan para tawanan warga Indo-Eropa. Tepat pada Shubuh 10 November, pasukan Sekutu melancarkan aksi pembersihan berdarah di seluruh pelosok kota di bawah perlindungan serangan bom dari udara dan laut. Inilah momentum yang mengantarkan Surabaya sebagai “Kota Pahlawan” ketika sekitar 6.000 rakyat Indonesia gugur dalam revolusi 10 November.
Komentar
Posting Komentar
Add a comment....