Bagian
1
Pengertian
dan Hikmah Nikah
A.
Pengertian
Nikah
Nikah
menurut bahasa adalah kumpulan/bersetubuh/akad.
Sedangkan
menurut syar’i adalah dihalalkannya seorang lelaki dan perempuan untuk bersenang-senang,
melakukan hubungan seksual, dll.
Pernikahan di anggap sah jika di lakukan dengan akad, yang
mencakup ijab dan qabul antara keduanya, dan sebaliknya tidak akan sah jika
tidak di sertai dengan akad. Para
ulama mazhab juga sepakat bahwa
nikah itu sah bila di lakukan dengan menggunakan redaksi “zawwajtu” (aku
mengawinkan) atau “ankahtu” (aku menikahkan) atau orang yang
mewakilkannya dengan redaksi “qabiltu” (aku terima) atau “radhitu”
(aku setuju).
B.
Hikmah
Nikah
Islam
tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan
dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat
bagi pelaksananya :
1.
Sarana pemenuh
kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2.
Sarana menggapai
kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3.
Sarana
menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
4.
Sarana untuk
menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah saw pernah berkata kepada sekelompok pemuda :
Rasulullah saw pernah berkata kepada sekelompok pemuda :
“Wahai
pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih
dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka
berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat)
baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
Bagian
2
Hukum dan Jenis Nikah
Hukum dan Jenis Nikah
A.
Hukum
Nikah
Pada
dasarnya hukum nikah menjadi 5 kategori yang didasarkan kepada kondisi
pelakunya :
1.
Wajib,
bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
2.
Sunnah,
bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3.
Mubah,
bila tidak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan
yang mengharamkan menikah.
4.
Makruh,
bila nafsu tidak mendesak, tidak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
5.
Haram,
bila nafsu tidak mendesak, tidak mampu memberi nafkah sehingga merugikan
isterinya.
B.
Jenis
Nikah
Imam
Daruquthni mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa ‘Aisyah
ra menyebutkan adanya 4 jenis nikah pada masa jahiliyah (sebelum Muhammad saw
menjadi rasul) :
1.
Perkawinan
Pinang, yaitu seorang pria datang meminang/melamar seorang wanita baik
secara langsung atau melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar.
2.
Perkawinan
Gadai/Pinjam, yaitu seorang isteri yang diperintah suaminya untuk berkumpul
dengan pria lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau perbaikan
keturunan.
3.
Poliandri,
yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir mencampuri
seorang wanita dengan kesepakatan bahwa jika wanita itu hamil dan melahirkan,
maka kesemua pria tersebut harus ridha bila kemudian salah satu dari merekalah
yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut.
4.
Pelacur,
yaitu seorang wanita yang memasang bendera hitam di depan rumahnya sebagai
tanda siapapun yang berkehendak kepadanya boleh masuk dan menggaulinya. Bila
hamil dan melahirkan, kemudian si wanita mengumpulkan seluruh pria yang pernah
menyetubuhinya dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti nasab
anak itu lalu memberikan sang bayi kepada sang ayah yang tidak boleh menolak.
Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasul, muncul pula jenis-jenis nikah dalam bentuk lain :
Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasul, muncul pula jenis-jenis nikah dalam bentuk lain :
5.
Nikah
Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dengan
syarat tanpa adanya mahar.
6.
Nikah
Mut’ah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu
tertentu.
7.
Nikah
Muhallil, yaitu seorang pria A yang membayar (muhallal) seorang pria B
(muhallil) untuk menikahi wanita yang pernah dinikahi dan dithalaq sebanyak
tiga kali agar dapat dinikahi pria A setelah diceraikan oleh pria B.
8.
Nikah
Ahli Kitab, yaitu seorang pria mu’min yang menikahi wanita beragama samawi
(Yahudi atau Nashrani).
[Perhatikan
: Hanya jenis nikah nomor 1 (Perkawinan Pinang) yang dihalalkan dalam syari’at
Islam].
Bagian
3
Khitbah
A.
Pengertian
Khitbah
Khitbah
secara bahasa adalah pinangan/lamaran.
Secara syar’i adalah
permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara
langsung maupun tak langsung.
B.
Hikmah
Khitbah
1.
Cara untuk
saling mengenal antara calon pasangan suami isteri.
2.
Cara untuk
mengetahui tabiat, akhlaq dan kecenderungan masing-masing calon pasangan suami
isteri.
3.
Cara untuk
mencapai kemufakatan kedua belah pihak atas berbagai perkara yang prinsipil dan
teknis dalam membentuk keluarga.
C.
Jenis
Khitbah
1.
Secara langsung
yaitu pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas.
2.
Secara tidak
langsung yaitu pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan/sindiran.
D.
Beberapa
Ketentuan dan Adab Khitbah
1.
Khitbah
bukanlah aqad nikah.
Khitbah
bukanlah pernikahan. Khitbah hanyalah janji untuk menikah, sehingga tidak akan
ada konsekwensi hukum pernikahan. Adanya saling bertukar cincin bukanlah
penghalal hubungan. Pemberian apapun yang mengiringinya dipandang syari’at
sebagai sesuatu yang tidak boleh mengikat dan tidak dapat dikenakan syarat
apapun.
2.
Khitbah
dilakukan dengan tetap memelihara pandangan.
Dr.
Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan muatan (QS. An Nuur : 30-31) bahwa pada dasarnya
memandang lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan dengan mematuhi 2
syarat :
1.
Tidak didasari
oleh syahwat
2.
Tidak
memanipulasi kelezatan dari pandangan tersebut.
Kaidah
tersebut berlaku pula dalam khitbah. Syari’at mengarahkan memandang dalam
khitbah melalui dua cara :
1.
Mengutus
seorang wanita yang dipercaya untuk melihat dan melakukan investigasi.
2.
Melihat/menemui
langsung.
3.
Khitbah di atas
khitbah adalah haram
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah pernah berkata : “Janganlah seorang
diantaramu membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan jangan pula
mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, kecuali ia
mengizinkan.” (HR Muslim dengan sanad shahih). Dalam matan hadits riwayat
Bukhari : “Rasulullah saw melarang seorang membeli apa yang telah dibeli
oleh saudaranya dan melarang mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh
saudaranya, hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.”
4.
Khitbah
diterima/ditolak didasarkan pada keputusan seorang gadis.
Seorang
gadis memiliki hak menerima atau menolak pinangan yang diajukan kepadanya.
Walinya tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada sang gadis. Diantara syarat
sah pernikahan yang paling asasi adalah kerelaan calon isteri.
Rasulullah bersabda : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam periwayatan lainnya : “Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta izinnya. Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ?” Rasulullah saw menjawab : “Ia diam.” (HR. Jama’ah).
Rasulullah bersabda : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam periwayatan lainnya : “Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta izinnya. Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ?” Rasulullah saw menjawab : “Ia diam.” (HR. Jama’ah).
Kebalikannya,
bila seorang gadis telah menyetujui pinangan yang diajukan kepadanya, maka
walinya tidak boleh menunda untuk menyegerakan pernikahannya. Rasulullah
bersabda :
“Tiga
yang jangan diperlambat : Shalat bila sudah waktunya, jenazah bila sudah
didatangkan dan gadis bila sudah menemukan calon suami yang sekufu’”.
(HR. Tirmidzi)
5.
Khitbah
diterima/ditolak didasarkan pada kufu’(kesepadanan).
Khitbah
dalam Islam lebih menitikberatkan kesepadanan calon suami dengan calon isteri
dalam aspek agama dan akhlaq (QS. An Nuur : 3 & 26), selain aspek sosial,
ekonomi, ilmu, dsb.
6.
Khitbah
memperkenankan hadiah tidak bersyarat.
Diperbolehkan
adanya tukar cincin ataupun benda lain dalam khitbah, bila maksudnya sebatas
saling memberikan hadiah tidak mengikat/tidak bersyarat dan selama tidak ada
anggapan bahwa pemberian itu menghalalkan hukum suami-isteri.
Rasulullah bersabda :
Rasulullah bersabda :
“Wanita
manapun yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum ikatan nikah maka mahar
itu baginya dan bagi walinya jika ia diberikan sesudahnya.”
(HR. Al Khomsah kecuali Tirmidzi)
Bagian
4
Akad
Nikah
A.
Pengertian
akad nikah
Secara bahasa
akad adalah membuat simpul/perjajian/kesepakatan; (akad nikah = mengawinkan
wanita).
Secara syar’i adalah
ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara
walinya, dengan tujuan :
1.
Hidup bersama
membina rumah tangga
2.
Memperoleh
ketenangan jiwa.
3.
Menyalurkan
syahwat dengan cara yang halal
4.
Melahirkan
keturunan yang sah
B.
Rukun
dan Syarat Sah Nikah
Akad
nikah akan sah apabila terpenuhi enam rukun sebagai syarat sahnya nikah.
1.
Ijab-Qabul
Ijab
(pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai
pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab).
Al Qur’an mengistilahkan ijab-qabul sebagai “miitsaaqan ghaliizhaa” (perjanjian
yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan
maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat
ijab-qabul adalah :
1)
Diucapkan
dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
2)
Menyebut jelas
pernikahan dan nama mempelai pria-wanita
2.
Adanya
mempelai pria.
Syarat
mempelai pria adalah :
1)
Muslim dan
mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah
: 9.
2)
Bukan mahrom dari
calon isteri.
3)
Tidak dipaksa.
4)
Orangnya jelas.
5)
Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
3.
Adanya
mempelai wanita.
Syarat
mempelai wanita adalah :
1)
Muslimah (atau
beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) dan mukallaf; (QS. Al Baqarah
: 221, Al Maidah : 5)
2)
Tidak ada
halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah dan bukan mahrom dari
calon suami).
3)
Tidak dipaksa.
4)
Orangnya jelas.
5)
Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
4.
Adanya
wali.
Syarat
wali adalah :
1)
Muslim
laki-laki dan mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
2)
‘Adil
3)
Tidak dipaksa.
4)
Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
Adapun
tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
1)
Ayah
2)
Kakek
3)
Saudara laki-laki
sekandung
4)
Saudara
laki-laki seayah
5)
Anak laki-laki
dari Saudara laki-laki sekandung
6)
Anak laki-laki
dari Saudara laki-laki seayah
7)
Paman sekandung
8)
Paman seayah
9)
Anak laki-laki
dari paman sekandung
10) Anak laki-laki dari paman seayah
11) Hakim
5.
Adanya
saksi (2 orang pria).
Syarat
saksi adalah :
1)
Muslim
laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
2)
‘Adil
3)
Dapat mendengar
dan melihat.
4)
Tidak dipaksa.
5)
Memahami bahasa
yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
6) Tidak
sedang melaksanakan ibadah haji.
6.
Mahar.
Beberapa
ketentuan tentang mahar :
1)
Mahar adalah
pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami
kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. (QS. An
Nisaa’ : 4).
2)
Mahar wajib
diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya.
3)
Mahar yang
tidak tunai pada waktu akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
4)
Mahar dapat
dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
5)
Mahar tidak
memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk
disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap
harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat.
C.
Ketentuan
Tambahan Terkait Penyelenggaraan Aqad Nikah
1.
Khutbah Nikah.
Disunnahkan
sebelum aqad nikah berlangsung, dibacakan khutbah nikah untuk memberikan wasiat
dan pembekalan yang bersifat ruhiyah kepada mempelai agar dapat mengarungi
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Khutbah nikah dapat dilakukan oleh
wali ataupun yang lain.
2.
Mendoakan kedua
mempelai.
D.
Ketentuan
Tambahan Terkait Walimatul ‘Ursy
Secara
bahasa adalah walimah/berkumpul.
Sedangkan
menurut syar’i adalah :
a)
Pesta/resepsi
perkawinan.
b)
Makanan yang
dihidangkan dalam acara pesta/resepsi perkawinan.
c)
Hukum
menghadiri walimatul’ursy adalah fardhu. Sedangkan memenuhi undangan selain
walimatul’ursy, para fuqaha berikhtilaf antara fardhu kifayah dan sunah.
Bagian
5
Hak dan
Kewajiban Suami-Isteri
A.
Hak
Khusus Isteri Atas Suami
1.
Menunaikan
maharnya secara utuh/sempurna (QS. An Nisaa’ : 4, 20).
2.
Nafkah materil
(QS. Al Baqarah : 233).
3.
Interaksi yang
baik dan positif kepada isteri (QS. An Nisaa’ : 19) :
a.
Melapangkan
nafkah (QS. Al Haaqqah : 7).
b.
Bermusyawarah
dalam berbagai urusan
c.
Memperlakukan
isteri dengan lemah lembut, mesra dan memberikan kesempatan senda gurau
d.
Melupakan
kekurangan isteri, dengan mengunggulkan kebaikannya.
e.
Menjaga
performa dan penampilan baik di hadapan isteri.
f.
Meringankan beban
kerja domestik isteri.
4.
Melindung
isteri dari api neraka (QS. At Tahriim : 6)
B.
Hak
Khusus Suami Atas Isteri
1.
Tha’at dengan
sebaik-baiknya.
2.
Menjaga dan
mengelola harta suami dengan baik (QS. An Nisaa’ : 34).
3.
Menjaga
kemuliaannya dan perasaannya
4.
Mengatur rumah
dan mendidik anak-anaknya.
5.
Berbuat baik
kepada keluarga suami.
C.
Hak
Umum Bersama Suami-Isteri
1.
Saling bekerja sama
(taqwa kepada Alloh SWT)
2.
Saling bekerjasama
dalam mewujudkan kebahagiaan dan menghindarkan kenestapaan.
3.
Saling bekerjasama
dalam membangun keluarga dan mendidik anak.
4.
Saling bekerjasama
dalam menjaga rahasia.
5.
Saling melayani
Bagian
6
Nusyuz
dan Thalaq
A.
Nusyuz
1.
Pengertian
Nusyuz
Nusyuz
secara bahasa adalah menentang/durhaka/sesuatu yang meninggi (irtifaa’).
Secara
syar’i adalah isteri yang menentang suami/mengabaikan perintah dan membencinya.
2.
Konsekuensi
Nusyuz
Bila
didapat adanya indikasi nusyuz maka syari’at menerapkan beberapa konsekwensi dicabutnya
beberapa hak isteri :
1)
Nafkah
2)
Pakaian
3)
Gilir (bagi
yang berpoligami)
3.
Tahapan Solusi
Nusyuz (QS. An Nisaa’ : 34-35)
Tahapan-tahapan
tersebut adalah :
1)
Menasehati.
2)
Pisah ranjang
3)
Dipukul (pukulan
yang tidak membahayakan)
4)
Mendatangkan
hakim dari masing-masing pihak.
B.
Thalaq
1.
Pengertian
Thalaq
Thalaq
secara bahasa adalah pelepasan (ithlaaq)/hallul qayyidu (mengurai ikatan).
Secara
syar’i adalah seorang suami memutuskan jalinan pernikahan yang sah dengan
pernyataan yang jelas maupun kiasan.
2.
Hukum Thalaq
Para
fuqaha’ sepakat bahwa thalaq adalah mubah (dibolehkan) meskipun dibenci. (QS.
Al Baqarah : 229, Ath Thalaaq : 1, An_Nisaa’ : 1). Dari beberapa ayat tersebut,
dapat ditarik kesimpulan pemahaman sebagai berikut :
a)
Thalaq adalah
bagian dari solusi, yang pada kondisi tertentu merupakan solusi terbaik.
b)
Thalaq adalah
akad cerai suami kepada isteri, bukan sebaliknya. Adapun akad cerai isteri
kepada suami disebut khulu’.
3.
Rukun Thalaq
Thalaq
dianggap sah secara hukum apabila memenuhi rukun-rukun di bawah ini :
a)
Suami yang
mukallaf.
b)
Yang ditthalaq
adalah isteri yang sah.
c)
Adanya lafadz
thalaq secara langsung, baik dengan pernyataan yang jelas maupun kinayah
(samar-samar).
4.
Beberapa Bentuk
Perceraian Selain Thalaq
1)
Khulu’
(Isteri menggugat suami agar suami menceraikannya, dengan
mendapatkan kompensasi tebusan)
2)
Zhihar
(Suami menceraikan isterinya dengan akad “Punggungmu seperti
punggung ibuku”, ini diharamkan dalam Islam) (QS. Al Mujaadalah :2-4)
3) Ilaa’ (Sumpah suami untuk tidak menggauli
isterinya (maks. 40 hari); ini dibolehkan selama tujuannya mendidik. (QS. Al
Baqarah : 226-227)
4) Li-an (Suami menuduh isterinya telah
berzina dan/atau menafikan anak yang dikandungnya).
Bagian
7
Ruju’
dan ‘Iddah
A.
Ruju’
1.
Pengertian
Ruju’
Secara
bahasa adalah kembali, menahan.
Secara
syar’i adalah keinginan suami untuk kembali kepada isterinya setelah
perceraian. (QS. Al Baqarah : 228)
2.
Jenis
Ruju’ (QS. An Nisaa’ : 34-35)
Tahapan-tahapan
tersebut adalah :
1)
Ruju’
Thalaq Raj’I (Ruju’nya suami kepada isteri sebelum selesai masa ‘iddah; cukup
dengan ucapan atau jima’, tanpa harus adanya tajdiidun_nikaah).
2)
Ruju’ Thalaq
Ba’in (Ruju’nya suami kepada isteri setelah selesai masa ‘iddah; harus
adanya tajdiidun_nikaah).
a.
Ba’in
Shughra adalah thalaq ke-1 dan ke-2
b.
Ba’in
Kubro adalah thalaq ke-3, bisa ruju’ setelah isteri menikah dengan pria
lain (adanya muhallil).
B.
‘Iddah
1.
Pengertian
‘Iddah
‘Iddah
secara bahasa adalah menghitung (‘adda)
Secara
syar’i adalah masa tunggu (kosongnya rahim dari pembuahan) seorang wanita yang
telah dicerai.
2.
Hikmah
‘Iddah
1)
Menjaga dan memelihara
dari rusaknya nasab.
2)
Penegasan akan
hamil tidaknya seorang wanita setelah perceraian.
3)
Memberi
kesempatan kepada suami-isteri untuk saling ruju’ dan memperbaiki hubungan.
4)
Menghormati
suami yang meninggal (khusus bagi ‘iddah wafat)
3.
Jenis
’Iddah
1)
‘Iddah wanita
yang dithalaq dalam keadaan hamil, waktunya hingga melahirkan. (QS. Ath Thalaq
: 4)
2)
‘Iddah wanita
yang dithalaq dalam keadaan tidak hamil, waktunya 3 kali suci dari haidh. (QS.
Al Baqarah : 228)
3)
‘Iddah wanita
yang dithalaq dalam keadaan belum sempat jima’, maka tidak ada masa ‘iddah.
(QS. Al Ahzaab : 49)
4)
‘Iddah wanita
yang ditinggal mati suaminya, waktunya 4 bulan 10 hari. (QS. Al Baqarah : 234)
Bagian
8
Wanita-Wanita
Yang Haram Dinikahi
A.
Karena
nasab (QS. An Nisaa’ : 23)
1.
Ibu, termasuk
nenek dari pihak ayah atau pihak ibu.
2.
Anak-anak
perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau perempuan, hingga
keturunan di bawahnya.
3.
Saudara-saudara
perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah dan seibu.
4.
Saudara
perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari piahak ayah dan
seterusnya.
5.
Saudara
perempuan ibu, termasuksaudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ayah dan
seterusnya.
6.
Anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.
7.
Anak-anak
perempuan saudara perempuan hingga keturunan di bawahnya.
B.
Karena
ikatan perkawinan (mushaharah) (QS. An Nisaa’
: 22-23).
1.
Istri ayah
(mertua)
2.
Istri anak
(menantu)
3.
Ibu istri
(mertua wanita), Seluruh madzhab sepakat bahwa ibu istri dan
seterusnya ke atas adalah haram dinikahi,
4.
Anak
tiri, Seluruh madzhab sepakat bahwa anak perempuan istri (anak
perempuan tiri) haram untuk dinikahi apabila ibu anak tiri telah dijima’. Akan
tetapi apabila ibu dari anak tiri belum dijima’ sudah bercerai dan atau ibu
anak perempuan tiri mati maka menikahi anak tiri diperbolehkan.
C.
Menyatukan
dua wanita “muhrim” sebagai istri.
D.
Pernikahan
beda agama.

Komentar
Posting Komentar
Add a comment....