
RELASI ANTARA MANUSIA, ALAM, DAN TUHAN
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
(SARANA
BERFIKIR ILMIAH)
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah
Filsafat Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu
:
Prof. Dr. H.
Marzuki Noor, M.Si
Dr. H. Agus
Sujarwanta, M.Pd
Dr. H. Sudirman
AM., M.Hum
Oleh :
Nasihudin
Mustofa NPM : 14720030
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER
MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis
sampaikan kepada Allah swt, karena berkat ridho
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan pokok bahasan “Relasi Antara Manusia, Alam, dan Tuhan Dalam Perspektif filsafat dengan
indicator “sarana berfikir ilmiah”.
Sholawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi
Besar Muhammad saw yang selalu kita nanti-nantikan syafa’atnya
di hari kiamat.
Dalam penyusunan makalah ini banyak bantuan yang penukis
terima. Oleh karena itu, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada:
1.
Prof.
Dr. H. Marzuki Noor, M.Si (Dosen pengampu)
2.
Dr.
H. Agus Sujarwanta, M.Pd (Dosen pengampu)
3.
Dr.
H. Sudirman AM., M.Hum (Dosen pengampu)
4.
Semua pihak yang terkait dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran masih penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Metro, April 2015
Penulis,

HALAMAN
SAMPUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR
ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
...... A.
Latar Belakang............................................................................ 1
...... B.
Rumusan Masalah....................................................................... 2
...... C.
Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
tentang Tuhan, Manusia dan Alam......................... 3
B. Relasi Antara
Manusia, Alam, dan Tuhan Dalam Perspektif
Filsafat........................................................................................... 8
C. Ciri-ciri Berfikir Dalam Filsafat.................................................. 9
D. Sarana Berfikir Ilmiah................................................................ 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 13
B. Saran............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar
akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah,
arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan
sebagainya.
1)
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi
tersebut menunjukkan arti sebagai informal.
2)
Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan yang sikap yangsangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang
formal.
3)
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4)
Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep.
5)
Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang
mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Dari beberapa definisi tadi bahwasanya semua jawaban yang ada
difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio.
Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena adakejadian yang
membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir
sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa
aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam
yang besar ini? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan? Apakah yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana,
ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda. Semua soal tadi adalah falsafi,
usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan
teori-teori dan system pemikiran seperti idealism, realism, pragmatisme.
Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan
memikir tentang asumsi-asumsi kita yang
fundamental (mendasar), maka kita
perlukan untuk meneliti bagaimana
filsafat itu menjawabnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian tentang Tuhan, Manusia, dan Alam
2.
Bagaimanakah Relasi antara Tuhan, alam dan
manusia
3.
Ciri-ciri berfikir dalam filsafat
4.
Sarana berfikir ilmiah
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
2.
Mengetahui dan memahami relasi antara Tuhan,
Alam, dan Manusia dalam perspektif filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
tentang Tuhan, Manusia dan Alam
a)
Tuhan
Tuhan berada di luar jangkauan pikiran dan akal.
Seluruh alam semesta yang tak terhingga terbentang di hadapan mata kita. Tetapi
di balik semuanya itu terdapat kekuatan Maha Gaib yang mendalangi semua
‘permainan’. Bahkan orang-orang yang tidak percaya kepada kebenaran agama
mereka tidak menyangkal bahwa kekuatan Yang Maha Gaib itu memang ada. Tuhan
tidak dapat dibatasi waktu, Ia luhur dan mandiri. Seluruh ciptaan-Nya
mentaati perintah-Nya. Namun Ia bukanlah pelaku-Nya. Ia tak
berbentuk, Ia maha ada dan memelihara segala sesuatu. Ia pencipta, tak
bergerak, Maha Kuasa, Abadi, Penebus Dosa, Tak Terpahamkan, Tak Terjangkaukan,
Tanpa Awal, Kekal dan Ia adalah Kesadaran murni. Ia Tak terkalahkan dan Gudang
pengetahuan, Swadaya, Ia lautan kenikmatan dan Ia Maha Ada.
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang
berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi,
dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan
filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam
semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa
manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar
bisa menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia diberi
anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of
mind). Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal
memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui
pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan
dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam
lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah
sebagai pencipta seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa
dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas
sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi),
sehingga manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi
ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat
kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi
sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
b)
Manusia
Manusia adalah subyek pendidikan,
sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan adalah
subyek pendidikan yang berarti bertanggung jawab menyelenggareakan
pendidikan. mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan pribadi
anak-anak mereka, yang notabene adalah generasi penerus mereka. manusia
dewasa yang berkebudayaaan terutama yang berprofesi keguruan (pendidikan)
bertanggung jawab secara formal untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai
dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki masyarakan bengsa itu.
Manusia yang belum dewasa, dalam proses
perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan
dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran
atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadari bahwa perkembangan kepribadian
adalah self development melalui self actifities, jadi
sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri.
c)
Alam
Alam semesta adalah media pendidikan sekaligus
sebagai sarana yang digunakan oleh menusia untuk melangsungkan proses
pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan “mandiri”
dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam semesta saling membutuhkan
dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dimana alam semesta ini
butuh manusia untuk merawat dan memeliharanya sedangkan manusia butuh alam
semesta sebagai sarana berinteraksi dengan manusia lainnya.
Pada umumnya ada tiga macam konsepsi tentang
alam semesta atau identifikasi tentang alam semesta, yaitu :
1)
Ilmu pengetahuan yang didasarkan pada dua hal
yaitu teori dan eksperimen.
2)
Filsafat yang didasarkan pada prinsip yang
jelas dan tidak dapat disangkal lagi oleh akal dan bersifat umum dan
konpherensif.
3)
Agama yang didasarkan pada pemikiran dan hujjah.
Dengan demikian
konsepsi mengenai alam semesta bersifat rasional dan filosofis. Selain konsepsi
filosofis yaitu abadi dan komprehensif, konsepsi religius tentang alam semesta
tak seperti konsepsi ilmiah dan filosofis murni, memiliki satu nilai lagi,
yaitu menyucikan prinsip-prinsip konsepsi alam semesta.
Alam berarti dunia,
alam semesta, kerajaan, jadi jika dianalisia alam merupakan yang sesungguhnya
atau alam yang nyata. Dengan kata lain alam semesta adalah tempat bernaung
makhluk-mahkluk Tuhan. Maka alam semeta ini diciptakan oleh Tuhan Untuk
kepentingan manusia dan untuk di pelajari manusia dan semoga dapat menjalankan
fungsi dan kedudukannya sebagai manusia di muka bumi ini
Proses pendidikan yang berlangsung didalam antar aksi yang pluralistis
(antara subjek dengan lingkungan alamiah, sosial dan cultural) amat ditentukan
oleh aspek manusianya. Sebab kedudukan manusia sebagai subyek didalam
masyarakat, bahkan didalam alam semesta, memberikan konsekuensi tanggung jawab
yang besar bagi diri manusia. Manusia mengembang amanat untuk membimbing
masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama. bahkan manusia terutama
bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannya (human dignity).
Sejarah usaha manusia untuk mengerti dirinya sendiri, kepribadian
manusia, sudah ada sejak ilmu pengetahuan itu ada. Ilmu jiwa (Psikologi) yang
mula-mula sebaga ilmu jiwa metafisika adalah salah satu usaha tersebut. Makin
mendalam manusia menyelidiki kepribadiannya, makin banyak problemanya yang
timbul serta makin banyak rahasia yang minta jawaban. Karena manusia adalah
mahluk yang unik dan penuh misteri dan rahasia.
Manusia sebagai subyek dihadapkan kepada fenomena baru dalam
kesadarannya, yakni menghadapi problem yang jauh lebih sulit dari pada
problem-problem sebelumnya. manusia mulai bertanya, siapakah atau apakah aku
ini sebenarnya. Manusia sebagai subyek menjadikan dirinya sendiri (pribadi dan
keutuhan) sebagai obyek yang menuntut pengertian, pengetahuan atau pemahaman.
“Kenalilah dirimu” adalah kata-kata klasik yang tetap mengandung makna
yang ideal, khususnya amat bersifat pedagogis disamping bernilai
filosofis. Sedemikian jauh manusia masih belum yakin bahwa ia telah mengenali
dirinya sendiri. Bahkan makin dalam ia menyelami dan memahami kepribadiannya,
makin sukar ia mengerti identitasnya. Apa yang ia mengerti tentang
kepribadiannya makin ia sadari sebagai suatu asumsi yang amat “dangkal’
dan relatif, bahkan juga amat subjektif.
Untuk mengerti dan mengenali diri sendiri manusia dengan jujur
mengakui kesukaran-kesukarannya, apa yang ia akui sebagai pengertian hanyalah
suatu kesimpulan yang masih kabur dan belum representatif. Dari kenyataan ini
manusia berkesimpulan pula bahwa jauh lebih amat sulit untuk mengerti dan
memahami kepribadian orang lain.
Perwujudan kepribadian seseorang nampak dalam keseluruhan pribadi
manusia dalam antar hubungan dan antar aksinya dengan lingkungan hidupnya.
Penafsiran kita tentang tingkah laku belum menjamin pengertian kita tentang
kepribadian manusia. Karena itu, realita demikian amat jauh dari sempurnaan.
Tetapi usaha untuk mengerti dan memahami manusia ini jauh lebih baik daripada
pengertian dan kesimpulan- kesimpulan yang kita miliki tentang manusia. Apa yang
kita simpulkan sebagai pengertian itu lebih bersifat statis, sedangkan usaha
untuk mengerti manusia secara aktif dan terus-menerus didalam antar hubungan
dan antar aksi sesama itu bersifat dinamis. Asas dinamis ini merupakan
essensi watak manusia, yang terus berkembang, bertumbuh dan menuju integritas
kepribadiannya. Demikian pula kita tentang seseorang, tentang
kepribadiannya selalu berkembang. itulah sebabnya dikatakan “Tak
kenal maka tak cinta”. Bahkan “Cinta itu tumbuh dari sebuah
pengenalan”. Artinya makin kita mengenalnya, makin kita memahami
kepribadiannya yang positif makin pula kita mencintainya. Implikasi pandangan
ini adalah jagan tergesa-gesa menjauhi atau membenci seseorang, karena kita
belum mengenal seorang itu. Bahkan sesungguhnya, adalah kewajiban kita
untuk mengerti tingkah laku, kepribadian seseorang didalam antar hubungan dan
antar aksi sosial. Dan sesuai dengan asas –asas nilai demokrasi kita wajib
menghormati martabat pribadi orang lain. Prinsip self respect, menghormati pribadi
orang lain merupakan pangkal untuk mengormati diri sendniri. Artinya usaha
untuk dihormati, hormati lebih dahulu orang lain
B.
Relasi Antara Manusia,
Alam, dan Tuhan Dalam Perspektif Filsafat
1.
Tuhan dan
manusia
Relasi yang kompleks secara konseptual dapat
dianalisis berdasarkan empat bentuk utama relasi antara Tuhan dan manusia,
antara lain:
a)
Relasi ontologis yaitu antara Tuhan sebagai
sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi dunia
wujud eksistensi nya berasal dari Tuhan atau dengan kata lain hubungan Pencipra
dengan makhluk.
b)
Relasi komunikatif yaitu Tuhan dan manusia
dibawa ke dalam korelasi yang sangat dekat satu sama lain dan melalui
komunikasi timbal balik.
c)
Relasi Tuan-hamba, relasi ini melibatkan Tuhan
sebagai di pihak Tuhan sebagai Tuan (Rabb), semua konsep yang berhubungan
dengan keagunganNya, sedangkan manusia sebagai hamba yang patuh.
d)
Relasi etik, relasi ini didasarkan pada
perbedaan dasar antara dua aspek yang berbeda yang dapat dibedakan dengan
konsep tentang Tuhan itu sendiri dan manusia sendiri.
2.
Manusia dan
alam
Hubungan manusia dengan alam mengandung
beberapa aspek, antara lain manusia tidak lepas dari interaksinya bersama
sesama manusia juga dengan hewan, tumbuhan, lingkungan/alam.
Pada kenyataannya saat ini manusia sudah tidak
lagi memperhatikan keseimbangan alam dalam pengeksploitasiannya. Saat ini
manusia sudah dikuasai nafsu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya
sehingga dalam memanfaatkan alam tak lagi memperdulikan dampak buruk terhadap
keimbangan ekosistem alam di bumi ini. Hutan-hutan yang dulu lebat kini sudah
gundul karena pohonnya habis ditebangi untuk berbagai macam keperluan industri.
Ditambah lagi mayoritas kegiatan penebangan pohon tidak diikuti dengan kegiatan
menanam pohon dengan persentase minimal setara dengan banyak pohon yang
ditebang. Hal ini sungguh berakibat fatal, karena dengan demikian fungsi hutan
sebagai penahan air, penyaring udara dan habitat bagi berbagai macam ekosistem
flora dan fauna bisa musnah. Bila hal itu terjadi, maka jelaslah hanya dampak
buruk yang akan kita terima sebagai konsekuensinya. Contohnya saja banjir
bandang, tanah longsor dan yang paling parah ialah pemanasan global yang
sekarang sedang terjadi. Dan ketika musibah itu terjadi, maka kita secara
refleks akan berdo’a kepada Allah dengan hati yang ikhlas dan semata-mata
karena Allah karena berharap kita segera diselamatkan dari musibah itu.
C.
Ciri-Ciri
Berpikir Dalam Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada
perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu
lain. Mudhofir dalam Muntasyir dan Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri
berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
1)
Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya,
hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
2)
Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut
pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers
terletak pada aspek keumumannya.
3)
Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan
abstraksi pengalaman manusia. Misalnya : Apakah Kebebasan itu?
4)
Koheren atau konsisten (runtut).
Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya
tidak mengandung kontradiksi.
5)
Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian
kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya
maksud atau tujuan tertentu.
6)
Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir
secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara
keseluruhan.
7)
Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran
filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas
dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
8)
Bertanggungjawab, artinya
seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab
terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
D.
Sarana Berpikir
Ilmiah
Untuk melakukan
kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya sarana
tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat.
Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah
yang baik tak dapat dilakukan.
Sarana ilmiah
pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai
langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan
sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari
sarana-sarana berpikir ilmiah ini seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah
dalam kegiatan langkah tersebut. Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada
hakekat sarana yang sebenarnya sebab sarana merupakan alat yang membantu dalam
mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai
fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh.
Dalam proses
pendidikan, sarana berpikir ilmiah ini merupakan bidang studi tersendiri. Dalam
hal ini kita harus memperhatikan 2 hal, yaitu :
1)
Sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu,
dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang
didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti diketahui, salah satu diantara
ciri-ciri ilmu umpamanya adalah penggunaan induksi dan deduksi dalam
mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak mempergunakan cara ini
dalam mendapatkan pengetahuannya.Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu
mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuaannya yang berbeda
dengan sarana berpikir ilmiah.
2)
Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah
adalah untuk memungkinkan kita untuk menelaah ilmu secara baik. Sedangkan
tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang
memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kita sehari-hari. Dalam hal
ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu untuk
mengembangkan materi pengetahuaannya berdasarkan metode ilmiah.
Jelaslah bahwa mengapa sarana berpikir ilmiah
mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan
pengetahuaannya sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses
metode ilmiah dan bahkan merupakan ilmu tersendiri.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah
dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan
statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh
proses berpikir ilmiah dan untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada
orang lain.
Dilihat dari pola berpikirnya maka ilmu
merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Untuk itu maka
penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan induktif.
Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif ini sedangkan
statistik mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah
mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya
merupakan pengumpulan fakta untuk menolak atau menerima hipotesis yang
diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan
sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu
adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut
dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Relasi yang kompleks secara konseptual dapat
dianalisis berdasarkan empat bentuk utama relasi antara Tuhan dan manusia,
antara lain: a). Relasi ontologism; b). Relasi komunikatif; c). Relasi
Tuan-hamba; dan d). Relasi etik.
2.
Hubungan manusia dengan alam mengandung beberapa
aspek, yaitu manusia tidak lepas dari interaksinya bersama sesama manusia juga
dengan hewan, tumbuhan, lingkungan/alam.
3.
Dalam memahami suatu permasalahan, ada
perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu
lain. Mudhofir dalam Muntasyir dan Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri
berfikir kefilsafatan diantaranya; 1). Radikal, 2). Universal,
3). Konseptual, 4). Koheren atau konsisten (runtut).
5). Koheren, 6). Sistematik, 7). Komprehensif, 8). Bebas,
9). Bertanggungjawab
B.
Saran
Bahwa setelah menyimak dan
membahas lebih jauh lagi terhadap makalah ini, kami menyadari bahwa Filsafat Ilmu itu sangat berperan sekali
untuk mengatasi krisis kemanusiaan, maka mudah-mudahan kedepannya ilmu ini dapat di gunakan untuk kelangsungan
kehidupan umat manusia yang lebih baik.

https://alfarirorong.wordpress.com/2013/07/01/filsafat-ilmu/
http://www.academia.edu/7121973/hubungan_manusia_dengan_alam
Komentar
Posting Komentar
Add a comment....