
KEMAJUAN ILMU DAN KRISIS KEMANUSIAAN
(TANTANGAN DAN
MASA DEPAN ILMU)
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah
Filsafat Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu
:
Prof. Dr. H.
Marzuki Noor, M.Si
Dr. H. Agus
Sujarwanta, M.Pd
Dr. H. Sudirman
AM., M.Hum
Oleh :
Nasihudin Mustofa NPM
: 14720030
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER
MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis
sampaikan kepada Allah swt, karena berkat ridho
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kemajuan Ilmu dan Krisis Kemanusiaan” dengan indikator
“Tantangan dan Masa Depan Ilmu”.
Sholawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi
Besar Muhammad saw yang selalu kita nanti-nantikan syafa’atnya
di hari kiamat.
Dalam penyusunan makalah ini banyak bantuan yang penukis
terima. Oleh karena itu, penulis sampaikan ucapkan terima kasih kepada:
1.
Prof.
Dr. H. Marzuki Noor, M.Si (Dosen Pengampu)
2.
Dr.
H. Agus Sujarwanta, M.Pd (Dosen Pengampu)
3.
Dr.
H. Sudirman AM., M.Hum (Dosen Pengampu)
4.
Semua pihak yang terkait dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran masih penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Metro, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR
ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
...... A. Latar Belakang............................................................................ 1
...... B. Rumusan Masalah....................................................................... 3
...... C. Tujuan Penulisan......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu dan Krisis Kemanusiaan....................................... 4
B. Kemajuan Ilmu dan Krisis
Kemanusiaan.................................. 5
C. Agama, Ilmu dan Masa Depan
Manusia.................................... 5
D. Hubungan Antara Ilmu Dengan
Krisis Kemanusiaan.............. 6
E. Hubungan Antara Teknologi Dengan
Krisis Kemanusiaan.... 11
F. Hubungan Antara Etika Dengan
Krisis Kemanusiaan............ 15
G. Hubungan Antara Kebudayaan Dengan
Krisis
Kemanusiaan............................................................................... 17
H. Hubungan Antara Ilmu, Teknologi,
Etika, Kebudayaan,
dan Krisis Kemanusiaan............................................................. 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 21
B. Saran............................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia
atau philosophos. Philos atau philein
berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan,
pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater
scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan.
Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial
maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan
filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau
Sains merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan.
Namun demikian, kini ilmu telah tercabut dari
nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak
mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi bencana bagi kehidupan manusia.
Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental, karena ilmu telah
mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari
manusia telah menjadi budak ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu
mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi
boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan
teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.
Ilmu filsafat itu sangat luas lapangan
pembahasannya. Tujuannya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu,
baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam
mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap
baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering
kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis.
Etika di sini sama artinya dengan filsafat
moral. Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan
antara benar dan salah, baik dan buruk. Namun penilaian ini hanya bisa
dilakukan oleh orang lain yang melihat kita.
Direktur Avicena Center for
Religions and Science (ACRoSS)-ICAS menyerukan agar filsafat memilki komitmen
intelektual terhadap problema peradaban kontemporer, mengeksplorasi potensi
filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih mampu menyentuh isu-isu
kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya. Kesadaran bahwa kini filsafat dan
kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme politik dan ekonomi Barat
didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka, telah membelenggu cara
berpikir manusia modern umumnya. Telah 300 tahun ditanamkan bahwa filsafat
itu adalah semata pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah), bahwa
filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis bahasa, bahwa berfilsafat itu
identik dengan berpandangan skeptisisme yang menolak kebenaran universal, bahwa
filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu moral dan kemanusiaan.
Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat, dalam maknanya yang asli sebagai
‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah mati, dan ia telah bermetamorfose
menjadi miso-sophy (‘benci kebijaksanaan’).
Filsafat kebudayaan menjadi penting, karena
memberikan penunjuk arah kemana manusia seharusnya berkembang dengan
menyelidiki sedalam-dalamnya siapa manusia itu, kemana jalannya dan kemana
tujuan akhir hidupnya. Interaksi antar bangsa-bangsa di dunia berkorelasi dengan
proses saling mempengaruhi di bidang kebudayaan. Pada makalah kali ini, kami
akan membahas lebih lanjut tentang hubungan antara ilmu, teknologi, etika,
kebudayaan, dan krisis kemanusiaan.
B.
Rumusan Maslah
1.
Apa definisi ilmu, dan krisis kemanusiaan
2.
Apa hubungan antara kemajuan ilmu dan krisis
kemanusian?
3.
Apa hubungan antara agama, ilmu dan masa depan
manusia?
4.
Apa hubungan antara etika, moral, norma, dan
ilmu pengetahuan?
5.
Bagaimana sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh
ilmuwan?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
2.
Mengetahui dan memahami kemajuan ilmu dan
krisis kemanusian serta tantangan dan masa depan ilmu pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ilmu, Dan
Krisis Kemanusiaan
1)
Ilmu
Pengertian kata “ilmu” secara bahasa
adalah pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu dibidang itu (Bakhtiar, 2007).
Ciri-ciri utama ilmu secara terminologi adalah:
1.
Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren,
empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan.
2.
Koherensi sistematik ilmu.
3.
Tidak memerlukan kepastian lengkap.
4.
Bersifat objektif.
5.
Adanya metodologi.
6.
Ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.
2) Krisis kemanusiaan
Krisis adalah suatu keadaan dimana
terjadinya peralihan dari keadaan lama menuju keadaan baru yang belum pasti.
Misalnya, metode lama telah ditinggalkan, tetapi metode baru belum sepenuhnya
dapat digunakan, sehingga yang terjadi adalah kebingungan, karena belum adanya
metodologi baru yang memadai.
Krisis kemanusiaan merupakan suatu
peristiwa atau runtutan peristiwa ancaman kritis terhadap kesehatan, keamanan,
dan keberadaan atau eksistensi suatu komunitas atau suatu kelompok besar dalam
suatu wilayah luas.
B.
Kemajuan Ilmu dan
Krisis Kemanusiaan
Kemajuan ilmu dan teknologi yang semula
bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi
telah menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia.
Karena itu, wajar kemudian timbul kontroversi
di berbagai negara apakah pengembangan rekayasa genetik untuk manusia
dibolehkan atau tidak. Bagi negara-negara liberal rekayasa genetik untuk
manusia diperbolehkan bahkan didukung oleh pemerintah sedangkan para
negara-negara yang konserpatif pengembangan rekayasa yang menjurus kepada
perubahan manusia secara total amat ditentang. Pemusnahan embrio manusia tidak
jadi diklon dianggap sebuah bentuk kekejian yang tidak normal.
Bila mengacu pada pengertian diatas, pengetahuan merupakan
mengetahui sesuatu tanpa ada ragu. Misalkan bila cuaca gelap pasti akan turun
hujan. Pernyataan tersebut kita yakini tanpa ragu walaupun orang yang kita
anggap pintar akan mengatakan bila cuaca gelap pasti akan panas. Kita akan
tetap pada pendirian kita karena kita mengetahui hal tersebut tanpa ragu. Akan
tetapi berlanjut kepada timbul pernyataan mengapa hal itu bisa terjadi atau
penyebab dari hal itu. Jawaban dari pertanyan atas peristiwa yang telah
dicontohkan diatas, itu baru merupakan sebuah ilmu. Jadi ilmu itu tidak hanya
sebatas tahu, tapi bagaimana kita memahami dari pengetahuan tersebut.
C.
Agama, Ilmu, dan
Masa Depan Manusia
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda,
namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas
dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual) cenderung ekslusif, dan
subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru. Tidak perlu terikat dengan
etika progresif. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji
kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus
kemudahan bagi kehidupan di dunia.
D. Hubungan Antara
Ilmu Dengan Krisis Kemanusiaan
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia
modern yang telah maju ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang
mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan industri telah dapat
menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam
hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya.
Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak
kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan
ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan
kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa
semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering
terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Dalam masyarakat beragama, ilmu adalah bagian
yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki
adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya
dibandingkan dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya
berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi.
Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan
antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena
permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini
sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial.
Filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan landasan
ontologis ilmu; obyek apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang
menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk
mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir
dalam bukunya filsafat ilmu mengatakan; ontologi membahas tentang yang ada,
yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang
yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi
berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan.
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar
Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian
mengenai teori tentang ada. Tiang penyangga yang kedua adalah
Epistimologi ilmu atau teori pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat
yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki.
Kedua kecenderungan ini secara nyata paling
menampakkan diri dan paling mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa
ini dalam bidang lomba persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan
banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam
bidang kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup
manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan
miskin.
Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas
menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan
dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Tiang Penyangga yang ketiga dalah aksiologi
ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu
semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan
lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa
peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah
dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai
wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan
kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan
lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan
aksiologi, berikut adalah keterangan mengenainya. Aksiologi berasal dari
perkataan “axios” (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti
teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan arti aksiologi yang
terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di
atas, terlihat dengan jelas bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai.
Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih
tepat dikatakan bahwa obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia,
dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau
dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu
kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah
sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan
menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran
manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan
faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam
filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur
suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas
benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas
dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat
mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya
tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil
dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau
terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat,
nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan
ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada
epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada
kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus
mampu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan
seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan
akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang
merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional
dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar
seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan
menghindarkan dari yang buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat
menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika
normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya
terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu
mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan
tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati
nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan
dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika
keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada
nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia
berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang
ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam
nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral
menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi
seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu,
apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang
berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif.
Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak
positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi
informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan
implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah situasi
di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan.
Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun,
seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan
contoh yang baik.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini,
terjadi konflik antara etika prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika
prakmatik berorentasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja
sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang cenderung menindas untuk
kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik.
Etika pembebasan manusia, bersifat spiritual
dan universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi
karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan
kemandirian.
Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada
tujuan semula yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan
umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
E. Hubungan Antara
Teknologi Dengan Krisis Kemanusiaan
Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur
utama yang dapat menyongsong masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam.
Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang
rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai
dampak sosial yang sering lebih penting artinya daripada teknologi itu sendiri.
Schumacher menyatakan bahwa dunia modern yang
dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat
kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang
tidak berperikemanusiaan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan
tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat
dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi
kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan bagaimana
peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif
pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
Fenomena teknologi pada masyarakat kini,
menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a)
Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh
teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
b)
Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu
yang buatan tidak alamiah.
c)
Otomatisme, artinya dalam hal metode,
organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik
mampu mengeliminasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
d)
Monoisme, artinya semua teknik bersatu, saling
berinteraksi dan saling bergantung.
e)
Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas
kebudayaan dan ideology, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
f)
Otonomi, artinya teknik berkembang menurut
prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang pesat, meliputi
berbagai bidang kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan
kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia.
Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul (1964) sebagai berikut :
§ Teknik meliputi
bidang ekonomi.
§ Teknik meliputi
bidang organisasi seperti adminstrasi, pemerintahan, manajemen, hukum, dan
militer.
§ Teknik meliputi
bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan, dan
obat-obatan.
Teknik telah menguasai selutuh sector kehidupan
manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi
unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa
kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya
manusia takluk pada teknik. Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada
masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri.
Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran
kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan
akibat penyerapan mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme
teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan
manusia dengan mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia
sendiri tidak hadir di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri ban, seorang
buruh meskipun sakit atau lelah, ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang
sekarat di RS, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan
membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian,
akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2.
Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik
telah mengubah lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana
manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau mengantuk
tetapi diatur oleh jam. Lingkungan manusia menjadi terbatas, manusia sekarang
hanya berhubungan dengan bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari
pagi tidak sempat lagi menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3.
Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat
teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan
diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia,
sifatnya alamiah dan konkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan
pembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak
ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk
kepada waktu.
4.
Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat
teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan
sebagai masyarakat kolektif. Sekarang struktur masyarakat hanya ditentukan oleh
hokum ekonomi, politik, dan persaingan kelas. Proses ini telah menghilangkan
nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Terjadinyaneurosa obsesional atau
gangguan syaraf menurut beberapa ahli merupakan akibat hilangnya nilai-nilai
hubungan sosial. Kondisi sekarang ini manusia sering dipandang menjadi objek
teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik yang ada.
Ternyata dunia modern yang mengukir kisah
sukses secara materi dan kaya ilmu
pengetahuan serta teknologi,
agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga
banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern
kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the
tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam
bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar
Nashir, berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku
manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama tenjadi pada level pribadi
(individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan),
termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan
norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan
kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan
norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu
berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn
disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai
pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat
spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat
dicermati dari berbagai ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya berbagai
alienasi (keterasingan) dalam kehidupan manusia. Ada alienasi
etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat
dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi
masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan
antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi
kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena
meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang
menafikan rasa dan akal budi.
F. Hubungan Antara
Etika Dengan Krisis Kemanusiaan
Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika
berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau
kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama kali menggunakan kata-kata itu
adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles ( 384 – 322 SM ).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika / moral adalah ajaran tentang baik
dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K.
Bertenes, etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan berbagai
masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang masalah-masalah
predikat nilai ”susila” dan ”tidak susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitas-kualitas
ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti
sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan tidak
susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip
dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia (Katsoff, 1986).
Etika dibagi menjadi 2
kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi menjadi 2 kelompok
lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika sosial yang
keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika
individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya
dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan
tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam
masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena
kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat
manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut
hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk
kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap
pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi maupun tanggungjawab manusia
terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar
akan tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota
masyarakat.
Di dunia kita sekarang
ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial sangatlah rendah. Contoh
nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di kalangan para penguasa
politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World's
Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan
deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic) sebagai
penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral untuk diejawantahkan dalam
kehidupan empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi
antisipasif dan solutif atas sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang
dewasa ini tidak hanya memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi,
budaya, dan politik pada banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi
kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi
sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif,
yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu krisis
multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi global,
dan krisis politik global. Berbagai terpaan krisis
tersebut lalu bermuara pada krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan,
pengangguran, kezaliman, kekerasan, penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan
lain-lain.
Jika ditelusuri secara
seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal mula dari krisis
etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di kalangan penguasa
politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan yang kemudian
mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif etika
global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia
belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi
terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat,
terutama pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan
kepercayaan atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan
manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup
dan kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma
"antropo-centris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri,
sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan".
Egoisme kemanusian
tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik yang bersifat individualistis
maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme, sekterianisme, atas seksisme
(feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme manusia tersebut menghalangi
manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia berkemanusiaan.
Sebuah paragraf dalam Declaration
toward a Global Ethic of the Parliament of the World's Religions yang
dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut, "Dalam tradisi
etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian tidak boleh
mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur dan adil!
Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun
merampas atau merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu
juga tidak seorang pun berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli
akan kebutuhan masyarakat dan bumi. Dalam pandangan deklarasi etika
global, tidak mungkin ada suatu tatanan dunia baru tanpa tatanan etika global.
Etika global, mengacu pada suatu permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat,
ukuran-ukuran pasti, dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap
manusia, khususnya manusia beragama.
Pemecahan problematika
sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin dilakukan dengan proses
pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan ekonomi dan politik serta
pembelakuan hukum dan undang-undang. Namun, semua itu belum cukup tanpa
perubahan "orientasi batin" (inner orientation) dan sikap
mental yang berkualitas dari masyarakat.
Masyarakat membutuhkan
reformasi sosial dan ekologis, tapi dalam waktu
bersamaan mereka juga membutuhkan pembaruan spiritual. Untuk benar-benar
berperilaku manusiawi berarti :
Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani
kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi yang
kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang menderita,
khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin, penderita
cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian.
Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai
keseimbangan kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa
batas dan persaingan yang tidak terhindarkan.
Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa
terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan,
manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian
diri serta dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi".
G. Hubungan Antara
Kebudayaan Dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan perihal entitas kebudayaan bangsa
kita saat ini sangat dalam kaitannya dengan kebudayaan global, yakni budaya
asing (Barat) yang selama ini dirasakan timpang. Dalam arti, ketika arus utama
(mainstream) dari pilihan arah orientasi pengembangan budaya nasional, akhirnya
jatuh pada komitmen membuka diri dengan mengadakan sharing seluas-luasnya
dengan pluralitas budaya global .
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya
kita dengan peradaban dunia ternyata mempengaruhi kebudayaan universal, namun
tidak dapat termanifestasikan secara komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat
ini adalah adanya paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan
yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
Apabila kita cermati, sebenarnya
kebudayaan kita tengah bahkan terus akan berproses dalam format fenomena yang
mungkin dapat disebut sebagai “gegar budaya”. Banyak indikator yang tersaji di
keseharian masyarakat kita yang secara empiris terlihat munculnya keprihatinan
dimana-mana pada hampir semua aspek kehidupan manusia, yang kemudian dapat
dirangkum dalam satu ungkapan krisis multidimensional. Hal ini mengindikasikan
bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam proses kebudayaan bangsa kita
selama ini, sehingga berimplikasi pada carutmarut persoalan bangsa yang tidak
kunjung selesai.
“Kekosongan” kebudayaan yang bangsa kita saat
ini rasakan dapat berdampak negatif terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan
nilai kemanusiaan. Peralihan kebudayaan Timur menjadi kebarat-baratan
seperti lazimnya seks bebas, pergaulan bebas, film porno, minum alkohol,
diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll membuat kita bertanya, kemanakah
nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi ciri khas dari bangsa
Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra bangsa dan cepat
mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia baru. Selain itu,
efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis kemanusiaan. Krisis
kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil di luar nikah, timbulnya
penyakit menular seksual, dan meningkatkan angka kriminalitas.
H. Hubungan Antara
Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
Ilmu pengetahuan dapat memberi dampak positif
dan negatif. Ketika ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk tujuan praktis, manusia
hanya memfungsikan sisi hawa nafsunya saja, sehingga sangat mungkin ilmu
pengetahuan diarahkan untuk hal-hal destruktif. Di sinilah pentingnya nilai dan
norma (etika) untuk mengendalikan hawa nafsu manusia. Etika menjadi ketentuan
mutlak yang akan menjadi dukungan yang baik bagi pemanfaatan iptek untuk
meningkatkan derajat hidup, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.
Pada zaman sekarang, aliran
humanisme-antroposentris berkembang pesat. Aliran ini memiliki pikiran
kebudayaan materi yang menafikan kehadiran agama, individualisme, kebebasan,
persaudaraan, dan kesamaan (Irfan, 2009). Perubahan kebudayaan berakibat pada
perubahan etika, sebab etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Etika
mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan
karena sifatnya tidak absolut dan mempunyai standar moral yang berbeda-beda
tergantung budaya yang berlaku di mana kita tinggal dan kehidupan sosial apa
yang kita jalani.
Apabila etika (yang juga dapat diartikan
sebagai cara berpikir) mengalami perubahan, maka perubahan pandangan tentang
ilmu pengetahuan juga mungkin terjadi, dan selanjutnya akan menimbulkan
kecenderungan adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu
pengetahuan (teknologi) yang dapat semakin memajukan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Ilmu pengetahuan yang semakin maju tersebut selain akan mendorong
ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan berikutnya, juga akan
meningkatkan keinginan manusia yang sampai bersifat memaksa, merajalela, bahkan
membabi buta. Pada akhirnya hal ini berakibat pada tidak manusiawinya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Jika ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada
berpangkal dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika
mendorong merajalelanya perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia
dan segala tatanannya. Berawal dari penolakan secara ekstrim terhadap
pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan
materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta
proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai
konsekuensi logisnya (Irfan, 2009).
Menurut para sosiolog, kerusakan dalam jalinan
struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan)
terjadi pada tiga tingkat, yaitu:
1.
Pada tingkat pribadi (individu) yang berkaitan
dengan motif, persepsi, dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik
status dan peran.
2.
Pada tingkat yang berkenaan dengan norma, yang
berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan
berperilaku à disebut kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes)
3.
Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan
pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat à disebut gejala
kesenjangan kebudayaan (cultural lag) à nilai-nilai pengetahuan
yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual
sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak pihak yang menganggap bahwa krisis
kemanusiaan merupakan ‘anak kandung’ dari modernisme. Masyarakat modern mampu
menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mengatasi berbagai masalah,
tapi tidak mampu menumbuhkan akhlak yang mulia sehingga terjadilah krisis
kemanusiaan.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga
disampaikan oleh Ma’arif (1997) dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal
karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi
kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam
membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang
pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai
kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan bahwa menurut sudut
pandang pemikiran penulis bahwa “Filsafat Ilmu” sangat berguna untuk
memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu,
maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur
ilmu, melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu, melatih berfikir
reflektif di dalam lingkup ilmu, menghindarkan diri dari memutlakkan kebenaran
ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh
kebenaran, menghindarkan diri
dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang
ilmunya, agar ilmu tidak
menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia. Sebab ilmu pengetahuan
mendorong kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat berakibat positif maupun
negatif. Supaya ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif bagi manusia
perlu dikendalikan oleh etika. Etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan.
Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi.
Perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat
terjadi krisis kemusiaan.
B.
Saran
Bahwa setelah menyimak dan
membahas lebih jauh lagi terhadap makalah ini, kami menyadari bahwa Filsafat Ilmu itu sangat berperan sekali
untuk mengatasi krisis kemanusiaan, maka mudah-mudahan kedepannya ilmu ini dapat di gunakan untuk
kelangsungan kehidupan umat manusia yang lebih baik.

Adisusilo,
Sutarjo. 1983. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta.
Kanisius
Bakhtiar A.
2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Mangunwijaya
YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein; Eseiesei Tentang
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia
Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung.
Bakti Mandiri
Ellul J. 1964. The Technological Society. New York. Alfred Knapf Sastrapratedja. 1980.
Irfan LA. 2009.
Kajian Terhadap Islamizing Curicula Al- Faruqi.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu.
2nd ed. Yogyakarta. Liberty
Daruni, EA. 1991. Hubungan Ilmu dan
Kebudayaan dalam Majalah Jurnal Filsafat. Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta. Seri 8
Koentjaraningrat.
1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta.
Aksara Baru
Ma’arif S.
1997. Dalam “Kata Pengantar” Buku Agama dan krisis Kemanusiaan Modern oleh
Nashir H. 1997. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Nashir H. 1997. Agama
dan krisis Kemanusiaan Modern. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar
Add a comment....